Bandar Lampung (ISN) — Momentum serah terima jabatan (Sertijab) Kapolda Lampung yang baru, Irjen Pol Helfi Assegaf, menjadi harapan baru bagi publik terhadap penegakan hukum, khususnya dalam kasus dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Tulang Bawang. Serikat Mahasiswa dan Pemuda Lampung (SIMPUL) mendesak Kapolda baru agar mengembangkan penyidikan hingga menyentuh aktor utama, yakni pemilik SPBU 24.345.88.
Koordinator SIMPUL, Rosim Nyerupa, menilai penyidik Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung belum menuntaskan akar persoalan. Hingga kini, baru pelaku lapangan yang diproses, sementara pemilik SPBU yang diduga menjadi penerima aliran dana hasil penyalahgunaan subsidi, belum tersentuh hukum.
“Publik bertanya-tanya, kenapa hanya pelaku lapangan yang diproses? Sementara Yulianto Atjik Sutrisno alias Acuk, pemilik SPBU yang diduga menikmati hasil penyelewengan subsidi, justru belum diperiksa dan belum ditetapkan sebagai tersangka,” tegas Rosim, Jumat (24/10/2025).
*Berawal dari Penangkapan Tiga Orang*
Kasus ini terungkap setelah penangkapan tiga orang pada 28 Agustus 2025 di Rawa Jitu Selatan, Tulang Bawang. Ketiganya adalah Samsul Hadi, MGS Wahyu, dan Paringotan Purba (karyawan SPBU).
Mereka ditangkap karena melakukan pengangkutan dan niaga ilegal BBM bersubsidi dengan cara mengecor menggunakan jeriken di SPBU 24.345.88. Pembelian solar dilakukan menggunakan barcode yang diterbitkan Pemkab Tulang Bawang melalui kerja sama dengan karyawan SPBU, Paringotan Purba.
Dana hasil penjualan disetorkan kepada **Indri**, bendahara SPBU, yang disebut rutin menyerahkan setoran kepada pemilik SPBU dua minggu sekali.
Penangkapan yang dilakukan Polda Lampung terhadap salah satu karyawan SPBU tersebut menjadi bukti awal kuat bahwa SPBU itu diduga terlibat dan telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku, bukan sekadar tindakan individual pelaku lapangan.
*Diduga Terorganisasi dan Melibatkan Pemilik SPBU*
Menurut SIMPUL, pola ini menunjukkan praktik terorganisasi dan terjadi secara sistematis, bukan tindakan individu. Selain itu, pihak SPBU diduga menjual solar dan pertalite di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Bukti nota transaksi SPBU menunjukkan Bio Solar dijual dengan harga Rp7.500–Rp8.000 per liter, serta Pertalite dijual dengan harga Rp10.400 per liter.
“Fakta bahwa Indri rutin menyetorkan uang ke bos SPBU memperkuat dugaan bahwa praktik ini diketahui dan diarahkan oleh pemilik,” lanjut Rosim.
*Melanggar UU Migas dan Aturan ESDM*
Rosim menegaskan praktik ini melanggar UU No. 22/2001 tentang Migas sebagaimana diubah oleh UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja, serta Permen ESDM No. 21/2024 tentang penyediaan dan pendistribusian BBM.
“Ini bukan pelanggaran administratif, tetapi kejahatan ekonomi yang merugikan negara dan rakyat. Penyelewengan subsidi adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” ujarnya.
*Desakan kepada Kapolda Lampung Baru dan Pertamina*
SIMPUL mendorong Kapolda Lampung yang baru untuk berani menuntaskan kasus hingga aktor intelektualnya.
“Jika aliran dana mengarah ke pemilik SPBU, maka seharusnya ada keberanian hukum untuk menetapkannya sebagai tersangka,” kata Rosim.
SIMPUL juga mendesak BPH Migas dan Pertamina untuk menghentikan sementara distribusi solar dan pertalite ke SPBU 24.345.88 sampai proses hukum selesai.
“Penghentian distribusi penting untuk mencegah kebocoran baru dan menunjukkan tanggung jawab moral negara,” tambahnya.
SIMPUL menegaskan komitmennya mengawal kasus ini terkait potensi keterlibatan mafia energi di Lampung.
“Kami tidak ingin Lampung menjadi ladang subur mafia energi. Bila penegakan hukum tumpul ke atas, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum,” tutup Rosim.
![]()
